Hukum
Beranda » Blog » Memanas, Kasus Dana BOP, Reses dan Pokir DPRD Akan “Diterbangkan” ke KPK RI

Memanas, Kasus Dana BOP, Reses dan Pokir DPRD Akan “Diterbangkan” ke KPK RI

Kasus Dugaan Korupsi DPRD Garut. Memanas, Kasus Dana BOP, Reses dan Pokir DPRD
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI). (Foto: Asep Ahmad)

MAJALAHLOGIKA.CO –  Dugaan kasus korupsi kegiatan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir), dana Biaya Operasional Pimpinan (BOP) dan Reses Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut tahun 2014-2019 akan dibawa ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Republik Indonesia.

Pasalnya, berdasarkan keterangan dua saksi penyidik Kejaksaan Negeri Garut pada persidangan Praperadilan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Kasus dana BOP dan Reses DPRD Garut oleh Kejari Garut terungkap ada dugaan korupsi yang merugikan negara dengan nilai sangat fantastis.

Salah seorang saksi dan Dua penyidik yang menjadi saksi mengaku tengah menangani kasus tersebut mengaku dugaan korupsi dana BOP mencapai Rp 40 Miliar, sementara dugaan korupsi Reses mencapai sekitar Rp 140 Miliar. Namun, ditengah penanganan kasus korupsi tersebut malah muncul SP3.

Selain itu, pada fakta-fakta persidangan juga terungkap bahwa Kejari Garut yang menangani kasus tersebut sejak tahun 2019 tidak memiliki dokumen sebagai alat bukti yang diminta BPKP (Badan Pengawasan dan Keuangan) RI perwakilan Provinsi Jawa Barat.

Ironisnya, ada pengakuan yang mengejutkan dari kedua penyidik yang memberikan kesaksiannya kepada majelis hakim. Penyidik tidak memiliki dokumen seperti nota atau kwitansi sebagai bukti transaksi antara DPRD Garut dan penyedia makan minum yang bekerjasama seperti warung makan dan restoran.

Satres Narkoba Polres Purwakarta Amankan Total Berat Bruto Narkotika Jenis Ganja 97,7 gram

“Selain akan mengajukan kembali Praperadilan terhadap penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Negeri Garut terhadap kasus dugaan korupsi dana BOP dan dana Reses DPRD Garut tahun 2014-2019, kami juga akan menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) karena kerugian dalam kasus ini cukup besar sehingga Kejaksaan Negeri Garut tidak mampu menangani dan menyelesaikannya,” ujar Asep Muhidin, SH., MH kepada wartawan.

Asep mengaku, dirinya sudah mengantongi bukti permulaan diantaranya bukti surat dan petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selanjutnya, sambung Asep, Komisi Pemberantasan Korupsi tinggal memperdalam aduan yang dijaukannya.

“Bentuk surat sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) KuHAP, dapat kita tafsirkan dengan melihat Pasal 187 KUHAP yaitu suatu berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu,” tegasnya.

Asep mengatakan, pada Putusan Praperadilan nomor 1/Pid.Pra/2024/PN Grt halaman 41-42, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Garut memberikan keterangan dimuka persidangan bahwa dugaan korupsi yang dilakukan anggota dewan periode tahun 2014 sampai 2019 sedang diselidiki tapi tiba-tiba ada SP3. Padahal mereka melakukan korupsi dengan dasar kualitas pekerjaan tidak sesuai. Sekitar tahun 2019 ada potensi kerugian negara dari BOP sebesar Rp. 40 Milyar dan Pokir Rp.140 Milyar.

“Seorang Jaksa yang memberikan keterangan sebagai saksi tidak mungkin asal bicara. Karena, dia mengetahui dan sebagai pelaku dalam melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dana Reses dan dana BOP DPRD Garut tahun 2014-2019,” tandasnya.

Polres Purwakarta Melakukan Penggeledahan Rutin Tahanan Minimal Dua Kali Dalam Sepekan

Selain bukti surat, bisa juga masuk kepada petunjuk. Nantinya, tegas Asep, KPK dapat mengundang Jaksa tersebut untuk menjelaskan darimana dasar perhitungan kerugian BOP sebesar Rp. 40 Milyar dan Pokir Rp. 140 Milyar itu.

“Mengacu kepada Pasal 188 Ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan Terdakwa. Nah ini ada saksi dari pemeriksa (Jaksa)yang dengan terang menyebutkan adanya kerugian puluhan milyar,” tegasnya.

Lalu, masih kata Asep, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan, Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

“Artinya Hakim dinyatakan sebagai pejabat negara. Oleh karena itu, produk hukum hakim yang berupa putusan dapat menjadi alat bukti surat. Surat dikatakan memiliki nilai keabsahan apabila memenuhi beberapa kualifikasi yaitu terkait keaslian dokumen, isi sebuah dokumen, dan apakah dokumen tersebut dilaksanakan sesuai dengan isinya. Dengan demikian putusan hakim dapat sah untuk dijadikan sebagai alat bukti surat,” tandasnya.

Penyidik Kejari Garut Mengalami Banyak Kendala Menemukan Dokumen

Gedung DPRD Kabupaten Garut

Gedung DPRD Kabupaten Garut. (Foto: Asep Ahmad)

Sebelumnya, salah satu saksi penyidik yang menjadi saksi pada persidangan Praperadilan SP3 dugaan tipikor Dana BOP dan Reses DPRD Kabupaten Garut, Friza Adi Yudha, SH mengatakan, kasus ini awalnya tentang dugaan korupsi Pokir, lalu dalam pengembangannya menjadi Reses dan BOP Anggota DPRD Kabupaten Garut 2014-2019.

Polres Serang Ungkap Kasus Premanisme Berkedok Perekrutan Tenaga Kerja

“Kalau reses itu kunjungan kerja dewan ke konstituen di dapilnya masing-masing. Reses wajib ada. Kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat konstituennya, karena anggota dewan itu ada dapilnya. Reses ini ada anggarannya dari APBD dan sudah dilaksanakan,” jelas Friza menjawab pertanyaan Hakim.

Ketika Hakim bertanya tentang sejak tahun berapa dimulainya penyidikan dan kendala apa saja yang dihadapi penyidik, saksi Friza menegaskan, penyidikannya sudah dimulai tahun 2021 sampai dengan tahun 2023.

“Selama proses penyidikan ada kendala untuk penyidik adalah menentukan siapa tersangkanya. Karena dalam kasus korupsi harus ada kerugian negaranya, maka dari itu penyidik harus koordinasi dengan ahli,” tandas Friza.

Menurut saksi Friza, penyidik Kejari Garut sudah melaksanakan konsultasi kepada Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) perwakilan Jabar di Bandung. Di BPKP penyidik terkendala untuk pemenuhan dua alat bukti permulaan, seperti berapa jumlah kerugian berdasarkan bukti yang ada.

“Penyidik yang bisa menentukan jumlah kerugian negara harus ahli dan ahli adalah dari BPK dan BPKP,” papar Friza.

Lalu Hakim kembali bertanya tentang kapan penyidik melakukan permintaan atau komunikasi dengan ahli. Friza mengaku tidak bertemu dengan ahli karena tidak ikut hadir ke BPKP. “Yang berangkat Kasie Pidsus sebelumnya, saya tidak ikut disana. Namun pada saat pertemuan, ada kesulitan dalam menentukan kerugian negara. Berapa jumlahnya,” jelasnya.

Friza menjelaskan, dari salah satu mata anggaran yaitu anggaran makan minum, penyidik harus melakukan kroscek ke penyedia makan minum. Karena dewan ini bekerjasama dengan salah satu tempat makan dan itu harus diperiksa. Sedangkan, ketika dilakukan pemeriksaan ada yang terkendala Covid-19 dan usahanya gulung tikar, ada juga yang tempatnya sudah tidak ada.

“Kalau berdasarkan LPJ saja, ahli di BPKP mengatakan tidak cukup. Jadi bukti permulaan awalnya tidak cukup,” tandasnya.

Kasus Dana BOP, Reses dan Pokir DPRD

Asep Muhidin, SH, MH.

Pada kesempatan itu, Hakim Sandi juga bertanya tentang alasan penyidik melakukan penghentian penyidikan. Bahkan, Hakim juga menegaskan bahwa dari alat bukti tidak diatur hanya dua saja, tetapi lima bukti. Namun, sebelum Hakim selesai bertanya, saksi Friza langsung menyebut bahwa ada dua saksi sudah tidak ada untuk diproses.

“Kami hanya mendapatkan dari penyitaan yang dilakukan berdasarkan LPJ-LPJ saja, sedangkan ahli meminta penyidik harus kroscek ke lokasi, tidak serta merta jadi ada seperti itu. Kalau tidak terpenuhi, maka mereka tidak mampu untuk melakukan perhitungan. Efeknya untuk saksi jadi tidak ada dan perhitungan kerugiannya jadi sulit untuk ditentukan,” kata Friza.

Setelah mendapat keterangan dari saksi penyidik Friza Adi Yudha, Hakim Sandi mempersilahkan pihak termohon untuk memberikan pertanyaan kepada saksi Friza. Termohon yang diwakili oleh Kasie Pidsus Kejari Garut, Donny Ferdiansyah Sanjaya bertanya tentang rangkaian penyidikan yang sudah dilakukan oleh penyidik.

“Proses penyidikan pemeriksaan saksi-saksi sudah dilakukan, penyitaan sudah dilaksanakan. Namun kendalanya, saat hendak menyusun kerugian negara harus kepada ahli. Dan itu sudah ditempuh lebih dari satu kali. Dalam rapat koordinasi perkara ini harus segera naik, namun ternyata tetap saja menurut ahli harus membuat perhitungan terlebih dahulu,” katanya.

Termohon Kasie Pidsus menyambung pernyataan saksi Friza dengan nada bertanya, bahwa penyidik sudah melakukan upaya yang optimal untuk menentukan penghitungan kerugian negara

“Benar, namun ahli menemukan kesulitan dan terus meminta tim penyidik untuk memenuhi bukti kalau mau diketahui perhitungan kerugian negara,” tandasnya.

Setelah Hakim dan Termohon mengajukan sejumlah pertanyaan kepada saksi, kuasa hukum pihak pemohon yang hadir di persidangan, Rio Damas Putra, SH kemudian melanjutkan pertanyaan kepada saksi Friza. Rio menanyakan tahun berapa saksi masuk menjadi tim penyidik.

“Berdasarkan sprindik, tercatat mulai tanggal 19 Agustus 2021, yang diperpanjang lagi tanggal 24 Maret 2022 dan terakhir September 2022. Jadi ada tiga sprindik. Saya tiga-tiganya hadir,” jawab saksi Friza.

Rio kembali bertanya tentang berapa kali saksi Friza mempertanyakan kerugian negara kepada BPKP dan langsung dijawab oleh saksi Friza.

“Waktu tim penyidik melakukan koordinasi ke BPKP saya tidak ikut. Yang ikut adalah Kasie Pidsus terdahulu Pa Yosep. Setelah Kasie Pidsus koordinasi dengan BPKP menjelaskan kendalanya seperti yang saya bilang. Sekitar dua kali kami koordinasi dengan BPKP,” jelasnya.

Rio juga bertanya tentang pernyataan saksi Friza bahwa diawal penyidikan sampai terbitnya SP3 saksi masuk dalam tim penyidikan dan tidak ada saksi. Tapi diketerangan selanjutnya sudah diperiksa saksi-saksi. Lalu saki menjawab bahwa saksi tidak satu.

“Saksi kan tidak satu. Saya meriksa juga. Yang saya periksa saksi juga. Tapi yang saya maksud saksi disini untuk menentukan kerugian negara. Saksi itu nanti menerangkan tentang berapa kerugian negara, yang tahu uang negara itu masuk pada kegiatan ini adalah saksi yang melaksanakan kegiatan ini. Salah satunya tempat makan yang dicari sudah tidak ada. Bukan semua saksi, saksi anggota dewan juga saya periksa,” terangnya.

Disaat Rio menanyakan apa saja penyitaan yang dilakukan pihak penyidik, saksi Friza kembali mengaku tidak tahu, karena tidak ikut pada kegiatan penyitaan ke DPRD Garut. “Saya tidak ikut penyitaan. Jaksa itu ibaratnya satu kesatuan, tapi kalau yang di Pidsus saya bukan bidang Pidsus, kebetulan pada saat penyitaan saya juga tidak ikut,” imbuhnya.

Kuasa hukum pemohon lainnya, Asep Muhidin kembali bertanya kepada saksi tentang pernyataan saksi yang membenarkan bahwa pemeriksaan awalnya adalah Pokir, pemeriksaan kedua juga masih pokir, namun selanjutnya berubah menjadi pemeriksaan BOP dan Reses.

“Pertama-tama kan ada laporannya tentang Pokir, tapi saya tidak tahu yang melaporkan. Awalnya tentang Pokir, tahu-tahu pas ada yang rangakaian penyelidikan, kalau Pokir itu pemeriksaannya memerlukan waktu yang sangat panjang. Sehingga pas kelihatan alur Pokir awalnya dari dari reses, dari situlah masuk ke Reses,” ucap Friza.

Saat itu, Hakim Sandi kembali bertanya hubungan antara dana Pokir, Reses dan BOP, Friza pun mengatakan, secara garis besar Pokir ini tidak ada anggarannya, yang ada anggarannya adalah Reses. Sementara Pokir itu hanya pokok pikiran yang disampaikan.

“Kalau BOP dan Reses ada anggarannya dari APBD. Mata anggaran BOP dan reses berbeda,” terangnya.
Pertanyaan kembali kepada Asep Muhidin. Kala itu Asep bertanya tentang apakah saksi Friza pernah melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan DPRD. Friza pun mengaku pernah memeriksa pimpinan. “Tapi saat diperiksa yang berkaitan diperiksa sebagai anggota dewan bukan sebagai pimpinan,” jawab Friza.

Sebelum mengajukan pertanyaan kembali, Asep Muhidin menjelaskan, dalam proses penyidikan, setiap Jaksa wajib mempedomani Perja (Peraturan Jaksa Agung) RI No. Perja-039/A/JA/10/2010. Setelah itu, Asep Muhidin bertanya lagi kepada saksi Friza, kalau Perja tidak dipedomani penyidik, apakah ada sangsinya atau tidak ada. Selanjutnya, jika Perja tidak dipedomani, maka produk yang diterbitkan sah atau tidak.

“Sesuai Perja, saat dilakukan perpanjangan penyidikan, maka harus memuat alasan yang logis. Ketika lebih dari 30 hari, 20 hari dan 20 seterusnya. Kalau tidak ada alasan yang logis, lalu bagaimana dengan produk hukumnya itu sah atau tidak,” tanya Asep Muhidin kepada saksi Friza.

“Sah. Tapi saya tidak tahu tentang pasalnya,” jawab saksi Friza.

Asep Muhidin kembali mengulas tentang Perja harus dipedomani setiap Jaksa. Pada Perja disebutkan, di Pasal 5 ayat 4, setelah habis masa perpanjangan kedua, sebagaimana dimaksud ayat 2 penyelidikan harus dianggap selesai dengan putusan dari pimpinan.

Lalu, apakah naiknya putusan pimpinan bahwa penyelidikan layak dinaikan menjadi tahap penyidikan. Dan apakah saksi pernah melihat surat putusan dari penyidikan.

“Saya tidak pernah melihat surat dari Kajari bahwa penyelidikan layak naik ke penyidikan, karena saya masuknya dari tahapan penyidikan,” terang Friza.

Pada pertanyaan terakhir yang disampaikan Asep Ahmad selaku pemohon tentang awal mula kasus dugaan korupsi tentang Pokir apakah terjadi di saat kepemimpinan Kajari Azwar atau bukan. Selanjutnya, ketika Kejaksaan dipimpin oleh Sugeng Hariadi apakah masih dibahas soal Pokir atau tidak. Begitupun disaat Dr. Neva Sari Susanti

“Betul saat Pak Azwar, kalau disaat pak Sugeng saya kurang tahu. Dan disaat bu Neva saya kurang tahu juga,” jawab saksi Friza.

Asep Ahmad kembali melontarkan pertanyaan tentang Reses DPRD. “Tadi saudara saksi menyatakan bahwa ada tempat makan minum yang digunakan belanja oleh anggota dewan sesuai dapilnya, namun tidak ditemukan sehingga BPKP tidak bisa menentukan jumlah kerugian negara. Pertanyaanya, dapat informasi dari mana tentang tempat-tempat yang disampaikan, sehingga tidak bisa ditemukan atau berubah jenis usahanya,” cecar Asep Ahmad kepada saksi Friza.

Mendapati pertanyaan itu, saksi Friza menegaskan, untuk nama tempatnya dari anggota dewan. Namun disaat pemohon kembali melontarkan pertanyaan, apakah pernyataan anggota dewan yang memberi nama tempat usaha mamin bisa dibuktikan dengan data dan fakta, pihak termohon langsung menyampaikan intrupsi, karena pertanyaannya dianggap sudah memasuki pokok perkara.

Lalu Hakim memberikan kesempatan lagi kepada pemohon untuk melanjutkan pertanyaan lain, Asep Ahmad mengulas pernyataan saksi yang menyebutkan, BPKP dan penyidik tidak bisa menemukan bukti. Kemudian pemohon bertanya, apakah penyidik tidak meminta bantuan pihak lain untuk menemukan bukti dan memastikan tempat makan minum itu gulung tikar atau pindah.

“Permintaan penyidikan bisa dibuka kembali disaat ada pihak atau yang bisa menemukan alat bukti yang bisa mendukung itu bisa. Maka untuk penanganan kasus korupsi ini bantuan dari siapapun itu diperhitungkan. Karena kalau bisa membuka tabir, ya itu bisa untuk dibuka kembali,” terang saksi.

Tidak sampai disitu saja, Asep Ahmad kembali mengajukan pertanyaan kepada saksi Friza terkait perhitungan apa yang digunakan Kejari Garut ketika menentukan dugaan korupsi hingga mencapai Rp 1.2 Miliar.

“Kalau untuk 1.3 Miliar itu potensi yang bisa terjadi dari kasus ini. Yang namanya potensi kami sampaikan juga kepada ahli, ke BPKP. Ini potensi kerugiannya segini gimana, seperti itu. Untuk menentukan potensi kerugian 1.3 M, untuk mamin itu paling besar bisa lebih dari 20-30 juta. Saat gak ada kan harus dicari. Saat ini ada yang ada, ada juga yang tidak ada harus dicari tempatnya,” jelas Friza.

Diakhir pertanyaan, Hakim Sandi bertanya kepada saksi, potensi kerugian itu berdasarkan bayangan saja, atau sudah dilakukan perhitungan kasar saja, sehingga muncul kemungkinan kerugiannya muncul diangka sekitar Rp 1.3 Miliar.

“Kalau berdasarkan pemeriksaan sudah kelihatan berdasarkan hitungan kasar hitungannya bisa dipukul rata. Karena belum semua anggota dewan diperiksa juga, jadi dipukul ratanya seperti itu. Kali 1, kali 50 kali 5 tahun seperti itu,” katanya.

Asep Muhidin kembali bertanya kepada saksi yang mengaku bahwa penyidik belum memeriksa semua anggota dewan. Lalu, apakah ketika diterbitkannya SP3, apakah sudah semuanya diperiksa atau belum.
“Untuk semua dewan ada yang tidak diperiksa karena sudah ada yang meninggal,” katanya.

Menanggapi jawaban saksi Friza, Asep Muhidin menegaskan saksi tidak perlu membahas anggota dewan yang sudah meninggal, tapi fokus pada anggota dewan yang masih hidup. “Apakah anggota dewan yang masih hidup dan masih ada sudah diperiksa semua atau belum,” tanya Asep Muhidin.

Karena yang disampaikan itu pembahasan dari reses. Sehingga harus dibedakan, pemeriksaan BOP dengan Reses. Terkait BOP dan Reses, apakah semua anggota dewan sudah diperiksa semua atau belum. “Untuk dewan belum semua diperiksa,” jawab saksi Friza.

Mendapati jawaban itu, Asep Muhidin langsung mencecar pertanyaan, kenapa sampai diterbitkan SP3. “Karena yang sudah diperiksa juga susah dihitung. Kita mau menghitung bagaimana kalau mau melanjutkan, kalau yang ada saja susah dihitung. Kendalanya sudah dijelaskan, perhitungan itu yang susah,” jawab Friza lagi.

Pertanyaan selanjutnya, Asep Muhidin mengatakan, ketika dihubungkan dengan pertanyaan Hakim, bagaimana metode atau keilmuan yang diterapkan kejaksaan, sehingga ada potensi kerugian mencapai Rp 1.2 Miliar. Sementara anggota dewan atau saksi belum diperiksa semua.

“Tadi sudah saya jelaskan, bahwa dari yang sudah diperiksa saja susah dihitung,” ujar Friza.
Asep Muhidin menambahkan, demi kepentingan umum, memohon pihak saksi untuk menyampaikan berapa jumlah saksi yang sudah diperiksa dan berapa jumlah tempat yang sudah didatangi untuk dimintai bukti. “Saya kurang tahu,” tegas Friza. (Asep Ahmad)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Bagikan